Rabu, 16 November 2016

Masa Kecil Hingga Lulus SD


Senin, 13 November 1972

Seorang bayi mungil berjenis kelamin laki-laki dilahirkan di muka bumi.

Dari seorang ibu bernama Djuwariyah binti Kaderan dan ayah Suradi bin Hasyim itulah, saya diberi nama Samsul Munir. Kami biasa memanggil ibu dan ayah sebagai emak dan bapak.

Saya adalah buah cinta emak dan bapak yang ke-13 yang sempat dikandung emak.

Meski tidak ingat secara persis, saya merasa bahwa masa kecil saya tergolong bahagia. Lekat dalam ingatan saya, ikut berendam rame-rame di sumber mata air bersama kakak-kakak saya.



Pertama kali saya belajar berenang adalah ketika saya dilemparkan oleh kakak ke-4 saya, Akhmad Nawawi. Saya yang tidak pernah tau caranya berenang secara reflek megap-megap dan mencoba meraih apa yang saya bisa. Rasanya, kakak-kakak saya malah tertawa. Kejam yaa? Tapi dari situlah akhirnya saya bisa cepat bisa berenang. Permainan di sumber yang paling saya senangi adalah ketika kakak-kakak saya membuat balon mengambang dengan menggunakan sarung. Di sumber air itu pula, saya menyaksikan kakak laki-laki saya yang ke-9, Edy Priyono, terjatuh dari akar pohon beringin dan tangan kirinya keseleo dan miring hingga saat ini. 
 Selanjutnya saya disekolahkan oleh Emak dan Bapak di TK Pertiwi yang persis berada di pinggir rel kereta api. Kami senang sekali ketika ada kereta lewat. Bersama kakak-kakak, saat pulang sekolah kadang-kadang kami meletakkan paku besar di rel, dan menunggunya dilindas kereta hingga pipih menjadi seperti mata tombak atau pisau mungil.

Oh iya, Bapak dulunya adalah seorang Carik di Desa Ngadiluwih, Kecamatan Ngadiluwih, Kabupaten Kediri, Propinsi Jawa Timur.

Pada tahun 1979, karena permasalahan prinsip, akhirnya Bapak memutuskan untuk berhenti sebagai Carik dan memboyong saya beserta ke-6 kakak saya ke Pahandut (sebutan untuk Palangkaraya pada saat itu), Kalimantan Tengah. Sebelumnya, ke-4 kakak saya sudah berada di Pahandut. 
Dengan menaiki Pesawat Bouraq, dari Bandara Juanda kami pun terbang menuju Lapangan Udara Syamsudinnoor Banjarmasin. Selanjutnya perjalanan diteruskan menggunakan Bis Air menyusuri Sungai Barito, Anjir Kapuas, Sungai Kapuas Murung, Anjir Kalampan di Pulang Pisau dan Sungai Kahayan menuju Pelabuhan Rambang di Pahandut.
Perjalanan panjang yang menempuh waktu sehari semalam itu sangat membekas dalam ingatan saya. Menyusuri sungai yang kiri-kanannya ditutupi hutan, sesekali berjumpa dengan segerombolan kera yang bergayutan di pohon-pohon. Pemandangan itu akan terasa lebih indah ketika semburat mentari muncul kala pagi dan senja hari.Terlebih lagi saat senja hari, lamat-lamat terdengar suara lagu nostalgia dari radio National yang diputar oleh pemilik kapal. Sayang pada saat itu tidak ada smart phone. Hehehehe. Jangankan smart phone, kamera kodak saja kami belum punya pada saat itu.Ada lagi hal lain, yang sampai sekarang tidak bisa saya lupakan. Saya tidak bisa minum teh saat berada di Bis Air. Apa pasal? Pikiran bawah sadar saya benar-benar mempengaruhi bahwa air teh yang dihidangkan di bis air adalah air sungai yang direbus oleh pemilik kapal. Warna sama persis, coklat terang!
Dan gangguan itu terus terbawa hingga saya sekolah di SDN V Panarung. :)
Selepas naik kelas V, saya pindah mengikuti Emak dan Bapak yang mengikuti kakak no 3 di Kota Samarinda. Di Kota Samarinda ini saya melanjutkan sekolah di SDN 006 Samarinda Ilir hingga selesai. (Bersambung...)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular

Recent

Comments