Rabu, 23 November 2016

Kisah Dibalik Kemah Bakti Nusantara

Kemah Bakti Nusantara


MEMORI SERAM
Kemah Bhakti Nusantara tahun ini bener-benar berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Meski lokasi yang dijadikan tempat pagelaran adalah sama dengan 7 tahun lalu yakni di lokasi wisata air terjun Patih Mambang, Desa Keraya. 

Ada sedikit rasa trauma bagi sebagian peserta saat mendengar event ini di laksanakan di lokasi yang sama seperti 7 tahun yang lalu. Namun tidak sedikit juga yang merasa tertantang, sebagian masih terbayang saat mereka terseok-seok berjalan berpuluh kilo meter tanpa jeda, lantaran jalan yang dilalui merupakan jalan timbunan baru yang banyak rengkahan karena kemarau panjang.

Kaki sering terperangkap di dalam lobang yang merengkah sembari melawan kantuk dan letih. Letih karena jalan panjang sembari membawa ransel berisi pakaian kotor yang basah, belum lagi “nyamuk gajah” yang tak kenal menyerah menyengat dan menghisap darah kami meski terbungkus jas hujan dan menggunakan lotion anti nyamuk. Semua itu tak mampu menghalau mereka. 

Kala itu kaki dan pangkal paha sudah lecet dan berdarah, namun kami harus terus melangkah karena tak ada lagi tempat untuk rehat meski sesaat, kecuali mau menjadi santapan nyamuk gajah yang liar dan kelaparan. 

Saat itu, awalnya kami melangkah dengan gagah, namun berubah menjadi payah. Celana berganti celana lalu berganti sarung. Sepatu berganti sandal gunung, sandal jepit, nyeker dan tertatih karena kaki sudah letih dan perih oleh luka yang mendera. 

Bener-bener terbayang siroh nabawiyah saat perang dzatur riqo (sobekan kain). Salah satu edisi peperangan pada masa rosulullah, dimana pada saat itu para prajurit kuku kakinya terkelupas dan copot karena perjalanan yang jauh dan berat, sampai kaki yang luka terpaksa harus dibalut dengan sobekan baju. 

Meski kepayahan, semangat dan tekad selalu menjadi factor pendorong bagi sang pemenang, mereka lolos sampai daerah kumpai batu kec arut selatan, jalan kaki dari desa keraya kecamatan kumai, melalui sabuai dll. Perjalanan 45 km yang ditempuh selama 19 jam, diantara hujan, lumpur, petir, dingin dan kelaparan. Heroik dan mengesankan. 

Memori yang kurang menyenangkan bagi sebagian orang inilah yang menjadi salah satu PR bagi panitia Kemah Bakti Nusantara 2016. Kami harus bisa mengganti suasana Kemah Bakti Nusantara (KBN) yang seram menjadi sesuatu yang dirindukan dan disenangi. Sehingga akhirnya KBN akan terpatri di dalam hati dan ingatan mereka, bukan lagi menjadi momok yang menakutkan. 

Meski demikian, kami tidak boleh mengesampingkan nilai-nilai kedisiplinan, kebersamaan, ruhaniyah, jasadiyah, ketangkasan, ketegasan, kewaspadaan, sosial, cinta tanah air,serta melatih daya tahan dan kemampuan bertahan di alam. Dari situ kami berharap KBN bisa memunculkan kebijaksaan untuk menjaga dan melestarikan, bukan membinasakan dan menghancurkan. 

PERSIAPAN PANITIA
Rabu (16/11) pukul 18.00 wib, saya sebagai ketua panitia dan 5 orang panitia meluncur dari Palangka Raya menuju Pangkalan Bun untuk berkoordinasi dengan panitia lokal mengenai kesiapan, surat menyurat, perijinan, logistic, perlengkapan, medis dan pemateri dari kodim. 

Kamis dini hari sekitar pukul 03.00 wib kami tiba di Kota Pangkalan Bun, sejenak meluruskan pinggang di Mushola An Nur Jl, Haji Moesta’lim sembari qiyamullail dan menanti subuh berjamaah. Selepas subuh bersih-bersih diri dan sebagian ada yang menikmati udara di Kota Pangkalan Bun. 

Selanjutnya pukul 07.00 kami memulai rapat dengan panlok. Dari hasil rapat, ternyata masih ada beberapa hal yang masih harus diselesaikan karena item tambahan. Akhirnya kami berbagi tugas, ada yang mencari perlengkapan outbond, ada yang mencari dan melengkapi keperluan logistic, obat-obat untuk P3M, dan susu UHT untuk baksos di penghujung acara KBN nantinya.

Selepas sholat dhuhur yang dilanjutkan jamak takdim qoshor sholat asar, saya dan rekan-rekan panitia gabungan yang berjumlah 11 orang berangkat menuju Desa Keraya. Dengan menggunakan 2 mobil minibus dan 1 pick up untuk logistic serta perlengkapan, akhirnya sekitar pukul 14.00 wib kami tiba di lokasi Wisata Air Terjun Patih Mambang.

Kami pun berloncatan dari mobil, menatap hamparan Pantai Keraya, menikmati buaian angin dan riak ombak yang terhempas membentur gundukan batu yang disusun untuk melindungi dari sergapan ombak besar. 

Sejak KBN 2009 yang lalu, abrasi air laut saya lihat sangat hebat, sudah beberapa meter daratan yang terkikis dan jalanan menyempit. Saya berpikir, beberapa tahun kedepan jika tidak ada upaya yang serius dan komprehensif mungkin jalanan sserta daratan yang sekarang tinggal cerita. Memikirkan dampak buruk abrasi bagi warga pesisir, saya berinisiatif menawarkan kepada warga setempat, bagaimana bila dalam KBN 2016 ini, kami melakukan bakti sosial menanam pohon bakau.

Sayang penawaran kami tidak disetujui warga. Mereka beralasan, hutan bakau hanyaakan menghalangi pandangan mereka kelaut lepas serta membuat sandaran sampan mereka menjadi lebih jauh. Ternyata warga memerlukan edukasi untuk merubah mindset mereka.

Akhirnya kami permisi kepada warga dan bersiap melakukan persiapan. Karena sulitnya sinyal hp untuk komunikasi sesama anggota panitia maupun dunia luar, terpaksa kami menggunakan handy talkie sebagai  komunikasi untuk memonitor dan mendengarkan arahan atau permintaan antar panitia. 

Setelah melakukan cek peralatan, kami segera bergegas memulai aktifitas lanjutan. Ada yang membersihkan lokasi base camp, memasang instalasi lampu penerang, masang instalasi outbond landing net di air terjun, masang bendera dan spanduk selamat datang untuk peserta. Kami mengerjakan dengan sigap, saling membantu ketika pekerjaan lain sudah selesai, targetnya sebelum matahari tenggelam instalasi penerang yang membentang 100 meter lebih sudah menyala dan instalasi landing net atau jarring pendarat yeng menuruni air terjun sudah kelar dan di uji coba.

Kemah Bakti NusantaraSaya, Pak Rosadi (Pj Out Bond), Akhmad Muhajir (Calon Dokter dan Pj Kesehatan), serta M. Nursaka membentangkan jaring pendarat dari tali kuralon diameter 1 cm dari satu pohon di ujung sungai dengan ujung sungai yang lain, diikat dengan simpul standart (simpul pangkal), kemudian dilanjutkan memasang satu tali kuralon lagi untuk pengamannya. Kemudian memasang figure eight dan carbiner yang dirangkai dengan tali carmantel. 

Setelah selesai melakukan instalasi di atas air terjun, salah satu dari kami turun untuk memastikan instalasi yang akan digunakan oleh peserta KBN nantinya. Setelah Muhajir turun disusul Rosadi yang kemudian mengikat ujung landing net dengan tali webbing ke akar pohon yang cukup besar menjalar di pinggir air terjun. Beberapa panitia dengan berat badan yang berbeda mencoba naik turun menggunakan landing net kemudian berenang di dasar air terjun untuk memastikan kedalaman dan keamanan lokasi. Akhirnya instalasi outbond pun selesai terpasang saat senja tiba, sementara instalasi penerang masih memerlukakan sentuhan akhir sebelum hari benar-benar gelap. 

Beberapa saat kemudian terdengar laporan di HT yang saya pegang, bahwa penerang sudah terpasang dan siap diuji coba. Saya kemudian memerintahkan panitia untuk kembali mengecek jaringan dan memastikan sambungan benar-benar aman jika sewaktu-waktu hujan lebat. 

Setelah selesai, lampu pun menyala dan kami bisa beristirahat sejenak  menyeka bulir-bulir keringat. Selanjutnya kami bersih-bersih diri disusul sholat maghrib dan jamak isya secara berjama’ah.

Selepas pukul 19.00 beberapa panitia mulai merasakan keroncongan perutnya, karena siang tidak makan, sebagian berinisiatif mengambil logistic di bawah bukit. Sebagian yang lain menyalakan kompor untuk merebus air dan membuat minuman hangat untuk mengusir dingin dan nyamuk yang mulai menyerang. 

Malam itu, kami berharap tidak turun hujan lebat. Namun rupaya Allah punya skenario lain, hujan turun dengan lebat bercampur petir yang menggelegar. Setelah kurang lebih dua jam, hujan dan petir mulai reda.. Seketika hujan berhenti, terdengar suara menderu dari air terjun Patih Mambang yang sore tadi kami pesangi instalasi jaring pendarat. 

Gemuruh air terjun sangat mengerikan, kami sangat cemaskhawatir bila instalasi yang kami pasang rusak dan tidak bisa digunakan. Namun kami juga tak berdaya menyaksikan gemuruh air terjun yang mengalir begitu dahsyat, kecuali berharap dan berdo’a pada yang Maha Kuasa. Sekitar pukul 23.00 ditengah rintik hujan, kami kembali memeriksa jalur yang semula disiapkan untuk dilalui peserta. Sungai kecil yang semula dangkal dan arusnya pelan, malam itu menjadi dalam dan deras.

Kami harus bergerak cepat untuk memindahkan jalur penyeberangan bagi peserta yang sebentar lagi tiba. Kami berdiskusi mencari solusi. Akhirnya kami memindah jalur untuk kedatangan peserta malam itu beberapa meter sebelum air terjun.

Beberapa panitia akhirnya mencoba membuat titian darurat diatas sungai aliran air yang deras, 4 orang panitia mengangkut kayu yang sudah dibelah. Namun kami terkendala dengan bagaimana cara menyeberangkan dan menyusun balok kayu melewati air yang deras? Anggota panitia yang mencoba melewati dengan membawa ujung kayu terserat arus. 

Akhirnya setelah beberapa kali dicoba dengan susah payah, kayu tadi bisa melintang meski tidak sempurna. Harus disusun dan diikat agar tidak hanyut, selanjutnya harus dibuatkan tali melintang dari kuralon sebagai pengaman. Kayu yang melintang terus bergerak karena air meninggi, sebentar lagi hanyut. Kami saling berpandangan mencari jawaban, siapa yang akan mengambil tanggung jawab dan mengambil resiko untuk menyeberang. 

Akhirnya saya memutuskan untuk menyeberang dengan membwa tali pengikat jembatan darurat. Tali kuralon saya ikat ke perut sebagai pengaman jika terseret arus saat nyeberang dan untuk dijadikan tali untuk pegangan bagi peserta. Namun beberapa panitia melarang. Akhirnya Pak Sukiyanto maju meraih tali di tangan saya dan mengikatkan kepinggangnya. Mengambil alih tanggung jawab dengan segala resiko yang mungkin terjadi.

Bebrapa menit peristiwa pembuatan jembatan darurat ini cukup menegangkan dan dramatis, di antara rinai gerimis dan petir yang sesekali bersahutan. Mengikat dua ujung balok terasa seram dan lama di antara arus deras yang siap menyeret ke air terjun. Beberapa diantara kami juga mengalami luka lecet dan terkilir saat menahan kayu agar tidak terseret hanyut ke air terjun sebelum diikat ke batang pohon. 

Akhirnya, setelah berjuang selama 30 menit lebih akhirnya jembatan penyeberangan berhasil dipasang dan siap di pakai lengkap dengan tali pegangan dari kuralon. Tak lama kemudian, terdengar lama-lamat suara riuh peserta gelombang pertama di bawah bukit. Setelah berbaris dan cek kondisi, satu persatu batang hidung para peserta terlihat. 

Kami tersenyum penuh syukur, karena jembatan darurat sudah terpasang melintang siap menjadi perantara peserta dari satu sisi ke sisi yang lain menuju lokasi KBN di Tempat Wisata Air Terjun Patih Mambang, Desa Keraya, Kec. Kumai Hilir, Kab. Kotawaringin Barat. (by Joko Mulyono)

Popular

Recent

Comments